Lirik kuno Navajo (4) : Dongeng kakek tua
“Jadi? Apa maksud lagu Indian tua itu? Engkau sudah memecahkan kodenya?”
Pagi itu Shannon mengantar Martin yang naik ke mobilnya untuk menuju ke toko yang kemarin mereka datangi.
“Sebuah petunjuk bi. Namun saya belum yakin hingga bertemu dia.”, jawab Martin membuka pintu mobilnya.
“Ingat bi. Jangan pernah membicarakan tentang hal ini di dalam rumah.”
Shannon mengangguk.
****
“Antarkan aku ke daerah Pajarito!”
Mendengar permintaan Martin, Nakai menghentikan nyanyiannya yang terdengar seperti gumaman itu.
“Tidak ada apa-apa di Pajarito.”, jawab Nakai tanpa membuka mata.
Nakai lalu meneruskan nyanyian gumamannya itu seolah tidak perduli dengan keberadaan Martin.
“Ah… ayolah! Apa maksudmu menyanyikan lagu aneh itu kemarin? Itu sebuah kode lokasi kan?”, Martin mulai tidak sabar.
Nakai kembali menghentikan nyanyiannya yang terdengar seperti gumaman itu. Kali ini dia membuka matanya dan menatap Martin dengan tajam.
“Jadi engkau keponakan sang penyingkap tabir?”
Martin menyadari bahwa yang dimaksudkan oleh Nakai sebagai penyingkap tabir adalah pamannya. Dia heran dari mana Indian tua ini tahu bahwa dia adalah keponakannya.
Apakah dia telah bertemu dengan pamannya semalam lalu menceritakannya? Martin menjadi sangat penasaran. Dia kini yakin bahwa dia telah berhasil memecahkan kode dalam lagu si Indian tua itu.
“Ya! Bagaimana kau tahu? Engkau tahu dia dimana? Apakah dia ada di Pajarito?”
Nakai tidak menjawabnya. Dia malah menutup matanya kembali dan kembali bergumam sesuatu dalam bahasa Navajo.
“Mata hitam mengawasi. Lepaskan diri dari mata hitam. Ketika gelap mendekat, bayang rajawali kayu mengikutinya. Maka temui Nakai di kaki lembah di ujung bayangnya…”
“Apa maksudmu?”, Martin menanggapinya juga dalam bahasa Navajo.
Nakai kembali tidak menjawab. Dia lalu mengambil sebuah seruling dalam tasnya. Dia memainkan seruling itu dengan gaya jemari yang tidak biasa. Jari yang tidak menutup lubang seruling itu seolah menunjuk ke sebuah arah. Martin menoleh ke arah yang ditunjuk Nakai. Martin tersenyum. Kini dia paham apa yang dimaksud oleh Nakai.
Di seberang jalan dari toko swalayan itu terdapat sebuah patung kayu yang tinggi yang berbentuk seperti susunan orang yang berbentuk pahatan menjulang ke atas. Di puncak dari patung kayu itu terdapat burung rajawali yang besar. Saat pagi seperti itu bayangan patung itu berada di depannya maka yang dimaksud dengan “bayang rajawali kayu mengikutinya” tentulah waktu sore “Ketika gelap (waktu malam) mendekat”.
“Oke, aku akan kembali sore hari nanti. Aku akan mencari cara untuk meloloskan diri dari para pengintai.”
Nakai menghentikan permainan sulingnya dan menunjuk ke atas. “Penyingkap tabir berkata, mata di langit juga mengawasi.”
Martin paham maksudnya. Dia kini yakin bahwa pamannya Peter terlibat masalah dengan sebuah kekuatan yang memiliki pengaruh besar. Kekuatan yang membuat media dan pihak berwenang tidak berdaya untuk menghadapinya. Kekuatan ini juga mampu menggerakkan satelit mata-mata untuk mengawasi wilayah atau bahkan individu tertentu. Martin sebenarnya khawatir bahwa dia tidak akan menang melawan mereka dan bahwa urusan ini juga akan membahayakan keselamatannya. Namun janjinya kepada ayahnya, hubungan baiknya dengan pamannya serta rasa ibanya terhadap bibi dan anak-anaknya menguatkan tekadnya untuk melawannya.
****
“Bagaimana?”, tanya Shannon dengan penuh antusias ketika Martin baru saja turun dari mobilnya.
“Sepertinya petunjuknya benar dan dia akan mengantarku ke sana.”
“Apakah Peter ada disana?”
“Aku tidak tahu bi. Dia sangat pelit bicara. Sulit sekali menggali informasi darinya.”
“Moga Peter disana. Moga dia disana. Kapan engkau akan kesana?”
“Nanti sore, tapi aku butuh bantuan Buck bi…”
“Bantuan apa? Tidak bisa aku saja?”
“Nanti aku ceritakan ketika Buck sudah kembali dari menjemput anak-anak. Aku ingin menyusun rencana terlebih dahulu..”
“Rencana apa?”
“Rencana untuk meloloskan diri.”
“Meloloskan diri???”
****
“Bagaimana Buck? Kamu siap?”
“Siap!”
“Teman-temanmu juga?”
“Tentu! Mereka telah menunggumu.”
“Ayo bergerak!”
****
Dengan mengucap doa dan memohon perlindungan dari Yang Maha Esa, Martin melangkah mendekati mobil Chrysler yang diparkir tidak jauh dari rumah mereka. Martin kemudian mengetuk kaca penumpang depan mobil itu yang seluruhnya tertutup kaca gelap pekat.
Kaca mobil bagian yang diketuk Martin itupun diturunkan. Didalamnya terdapat sepasang pria dan wanita yang keduanya mengenakan kaca mata hitam.
“Ya ada apa?”, tanya si wanita yang berada di sisi penumpang. Nampak jelas dia tidak senang dengan keberanian Martin mendekati mereka.
“Ini masih negara bebas bukan?”, tanya Martin.
“Apa???”
“Ini masih negara bebas kan? Sebuah negara dimana warganya harusnya bisa bebas dari ketakutan dan kekhawatiran.”
Kedua orang di dalam mobil itu segera menyadari bahwa Martin menyindir mereka.
“Hey anak muda! Pergi dari sini. Jangan ganggu tugas kami. Kami sedang menunggu seseorang.”, pria yang berada di bagian kemudi menghardik Martin dengan kasar.
“Apa ada tulisan ‘bodoh’ di keningku? Aku tau kalian memata-matai kami. Kalianlah yang seharusnya jangan mengganggu kami.”
“Cukup omong kosong ini!”, sambil berkata begitu pria tersebut menekan sebuah tombol untuk menaikkan kembali kaca mobil tersebut.
“Hey tunggu! Aku punya informasi yang kalian butuhkan…”, seru Martin kemudian.
Pria tersebut segera menghentikan tindakannya menutup kaca mobil. Keduanya memperhatikan ketika Martin mengambil sesuatu dalam tas. Sambil membelakangi mereka, Martin mempersiapkan sesuatu. Ketika nampaknya telah siap, Martin berbalik dan langsung memotret mereka. Ternyata yang Martin persiapkan adalah sebuah kamera.
“Aku akan muat foto kalian berdua di koran lokal. Aku akan katakan bahwa kalian adalah sepasang penculik anak.”
Pria yang berada di bagian kemudi nampak marah. Dia segera turun dari mobil dan mendekati Martin.
“Berikan kamera itu!”, bentaknya dengan keras.
“Tidak!”, Martin balik membentaknya.
“Saya bilang, berikan kamera itu”, sambil berkata demikian pria tersebut mengeluarkan sebuah pistol dan menodongkannya ke arah Martin.
“Hans… kendalikan dirimu.”, wanita yang berada di bagian penumpang ikut turun dan mengingatkan rekannya.
“Ya Hans… kendalikan dirimu. Engkau akan semakin terkenal di kota ini dengan videomu yang telah menodongku.”
“Video??? Video apa?”, tanya pria yang bernama Hans itu kebingungan.
Martin menunjuk ke beberapa arah. Di tiap arah yang ditunjuk Martin, terdapat beberapa kamera yang tampaknya merekam mereka.
“Ah…Kamu hanya menggertak!”, kata Hans. Namun dia telah menurunkan todongan pistolnya ke arah Martin.
Sebuah mobil kemudian mendekati mereka. Mobil yang dikemudikan teman Buck itu kemudian berhenti di dekat Martin.
“Terserah apa yang engkau percayai Hans tapi aku tahu setiap pasal yang bisa menuntutmu atas apa yang baru saja kamu lakukan.”, kata Martin sambil membuka pintu mobil yang mendekat tersebut.
Martin kemudian naik ke mobil itu dan sebelum menutup jendelanya, Martin berkata “Ayahku mengajari banyak tentang hukum. Atasanmu pasti punya informasi tentang aku dan ayahku. Jadi kamu tahu bahwa kamu tidak ingin berurusan dengan firma hukum milik ayahku. Sekarang permisi dulu, saya ada janji dengan seseorang.”
Mobil yang ditumpangi Martin pun pergi.
“Anak muda sok tahu! Ayo…kita ikuti dia.”, Hans yang masih kesal rupanya belum puas berurusan dengan Martin.
“Sudahlah! Kita disini saja mengawasi rumah itu.”, rekannya yang wanita berusaha menenangkannya.
“Tidak akan ada apa-apa dirumah itu Audrey! Sudah 6 bulan kita mengawasinya dan tidak ada yang aneh! Saya yakin anak muda itu bisa membawa kita ke sebuah petunjuk!”
Audrey mengangkat bahu, “Ok…ok…tenanglah…baiklah, kita ikuti saja anak muda itu.”
Mereka kemudian mengikuti mobil yang ditumpangi Martin. Namun tidak lama kemudian mobil yang dibawa Hans mogok. Hans kebingungan sambil melihat panel kendalinya. Dia melihat lampu petunjuk bahan bakar yang telah menunjukkan angka nol. “Aarrggghh!!! Bagaimana mungkin??? Bensinnya masih sangat cukup tadi?”. Dia memukul kemudinya dengan kesal.
Yang tidak diketahui Hans adalah ketika dia turun untuk mengejar Martin tadi, Buck menyusup kebawah mobil memotong selang bensin mobil tersebut sehingga bocor dan membuat bensin mobil itu habis dengan sangat cepat.
*******
Untuk berjaga-jaga kemungkinan mereka “diintip” dari langit, mobil yang ditumpangi Martin masuk ke sebuah gudang. Tidak lama kemudian dari dalam gudang tersebut keluar 3 mobil yang berbeda-beda arahnya. Ketiga mobil tersebut dikemudikan oleh teman-teman Buck dan ditujukan untuk membingungkan pengintaian. Namun Martin tidak ada di dalam salah satu mobil tersebut.
Dia turun lewat ruang bawah tanah yang umum terdapat pada banyak rumah dan keluar lewat belakang rumah itu yang tertutup pepohonan yang rimbun. Dia berjalan menyusuri hutan lalu muncul lewat jalan setapak tempat dimana sebuah mobil milik salah seorang teman Buck menunggu. Dengan mobil inilah Martin menjemput Nakai dibawah bukit di belakang pepohonan di seberang toko swalayan sebagaimana perjanjian mereka sebelumnya.
*******
“Jadi apakah pamanku masih hidup?”
“Nakai tidak akan bicara. Charanimo sang kepala suku yang akan bercerita.”
Perjalanan selama hampir 1 jam itu lebih banyak diisi dengan kesunyian. Martin harus bersabar untuk mendapatkan jawaban dari segala pertanyaannya. Dia sebenarnya memiliki kekhawatiran tentang nasib pamannya namun dia segera menepisnya. Semoga saja Pajarito adalah tempat dimana pamanku bersembunyi, demikian pikirnya. Namun ternyata Nakai tidak menuntun Martin ke Pajarito melainkan ke arah pusat penampungan Indian Navajo di Quzenito, 3 kilometer sebelum Pajarito.
*******
Setiba di Quzenito, mereka berjalan ke arah rumah kepala suku. Nakai dan terutama Martin mendapat tatapan tajam dari para penghuni reservasi Navajo tersebut. Beberapa ada yang bertanya dalam bahasa Navajo kepada Nakai.
“Nakai, kenapa kamu pulang? Siapa dia?”
“Dia seorang Navajo. Dia adalah keponakan sang pembuka tabir.”
“Apa??? Benarkah? Apakah dia akan membawa kesulitan juga seperti pamannya?”
“Biar Charanimo yang memutuskan.”, jawab Nakai sambil terus berjalan. Martin ikut berjalan dibelakangnya.
“Charanimo masih sakit. Dia tidak akan bisa memutuskan apa-apa.”
*******
Akhirnya setelah menunggu sebentar di ruang tamu, Martin dipersilahkan masuk menemui Charanimo, sang kepala suku Quzenito, yang sedang terbaring sakit di pembaringannya. Sebelumnya Martin membuka topi baseballnya dan sedikit membungkukkan badannya ketika bertatap mata dengan Charanimo untuk pertama kalinya.
“Kamu Martin keponakan Peter?”
“Ya pak kepala suku.”, jawab Martin sambil sekali lagi sedikit membungkukkan badannya.
Sebagai seorang keturunan Navajo, Martin mengerti dengan baik bagaimana bersikap dan bertutur kepada seorang kepala suku.
“Duduklah…”. Martin pun duduk di sebuah bangku di dekat kepala Charanimo.
Setelah duduk, Martin membuka percakapan. “Saya minta maaf mengganggumu dalam keadaan seperti ini. Tapi ini sangat penting bagi keluarga kami.”
Charanimo mengangguk pelan.
Martin pun meneruskan percakapan dan bertanya. “Anda tentu sudah mengerti tujuanku kemari. Dimanakah pamanku Peter pak kepala suku?”.
Sejenak Charanimo menghela nafas panjang.
“Aku akan menjawab pertanyaanmu nanti. Bersabarlah sejenak. Sebelumnya aku ingin menceritakan terlebih dahulu sebuah cerita. Sebuah kisah tentang raja yang sangat jahat yang memiliki ribuan mata yang membuat semua penghuni bumi, bahkan bumi itu sendiri, menangis dalam penderitaan dan kesedihan yang luar biasa. Maukah kamu mendengarkan?”
Martin mengangguk. Dia tahu kisah yang akan diceritakan oleh Charanimo ini pasti berhubungan dengan nasib pamannya. Dia mengerti bahwa sudah menjadi tradisi dalam suku Indian, termasuk pada Indian Navajo, untuk menyamarkan sebuah peristiwa penting dalam bentuk kisah dongeng.
*******
Seperti apakah dongeng kakek kepala suku Charanimo itu? Dan sebenarnya dimanakah Peter, paman Martin, berada? Masih hidupkah? Atau jangan-jangan ……
Ya sudah, sebagaimana Martin yang bersabar mencari pamannya, harap bersabar juga ya untuk menunggu sambungannya..
*******
Ingat! Ini cuma dongeng dan sepertinya “tidak ada” kaitannya dengan keadaan nyata.
By Patsus Namraenu biro Jabodetabek
Gambar Ilustrasi By Google dan Citox Bae-Jeh
http://patriotgaruda.com/2015/12/11/lirik-kuno-navajo-4-dongeng-kakek-tua/
Semua cerita ini diambil dari www.patriotgaruda.com
Pagi itu Shannon mengantar Martin yang naik ke mobilnya untuk menuju ke toko yang kemarin mereka datangi.
“Sebuah petunjuk bi. Namun saya belum yakin hingga bertemu dia.”, jawab Martin membuka pintu mobilnya.
“Ingat bi. Jangan pernah membicarakan tentang hal ini di dalam rumah.”
Shannon mengangguk.
****
Lirik kuno Navajo (4) : Dongeng kakek tua |
Mendengar permintaan Martin, Nakai menghentikan nyanyiannya yang terdengar seperti gumaman itu.
“Tidak ada apa-apa di Pajarito.”, jawab Nakai tanpa membuka mata.
Nakai lalu meneruskan nyanyian gumamannya itu seolah tidak perduli dengan keberadaan Martin.
“Ah… ayolah! Apa maksudmu menyanyikan lagu aneh itu kemarin? Itu sebuah kode lokasi kan?”, Martin mulai tidak sabar.
Nakai kembali menghentikan nyanyiannya yang terdengar seperti gumaman itu. Kali ini dia membuka matanya dan menatap Martin dengan tajam.
“Jadi engkau keponakan sang penyingkap tabir?”
Martin menyadari bahwa yang dimaksudkan oleh Nakai sebagai penyingkap tabir adalah pamannya. Dia heran dari mana Indian tua ini tahu bahwa dia adalah keponakannya.
Apakah dia telah bertemu dengan pamannya semalam lalu menceritakannya? Martin menjadi sangat penasaran. Dia kini yakin bahwa dia telah berhasil memecahkan kode dalam lagu si Indian tua itu.
“Ya! Bagaimana kau tahu? Engkau tahu dia dimana? Apakah dia ada di Pajarito?”
Nakai tidak menjawabnya. Dia malah menutup matanya kembali dan kembali bergumam sesuatu dalam bahasa Navajo.
“Mata hitam mengawasi. Lepaskan diri dari mata hitam. Ketika gelap mendekat, bayang rajawali kayu mengikutinya. Maka temui Nakai di kaki lembah di ujung bayangnya…”
“Apa maksudmu?”, Martin menanggapinya juga dalam bahasa Navajo.
Nakai kembali tidak menjawab. Dia lalu mengambil sebuah seruling dalam tasnya. Dia memainkan seruling itu dengan gaya jemari yang tidak biasa. Jari yang tidak menutup lubang seruling itu seolah menunjuk ke sebuah arah. Martin menoleh ke arah yang ditunjuk Nakai. Martin tersenyum. Kini dia paham apa yang dimaksud oleh Nakai.
Di seberang jalan dari toko swalayan itu terdapat sebuah patung kayu yang tinggi yang berbentuk seperti susunan orang yang berbentuk pahatan menjulang ke atas. Di puncak dari patung kayu itu terdapat burung rajawali yang besar. Saat pagi seperti itu bayangan patung itu berada di depannya maka yang dimaksud dengan “bayang rajawali kayu mengikutinya” tentulah waktu sore “Ketika gelap (waktu malam) mendekat”.
“Oke, aku akan kembali sore hari nanti. Aku akan mencari cara untuk meloloskan diri dari para pengintai.”
Nakai menghentikan permainan sulingnya dan menunjuk ke atas. “Penyingkap tabir berkata, mata di langit juga mengawasi.”
Martin paham maksudnya. Dia kini yakin bahwa pamannya Peter terlibat masalah dengan sebuah kekuatan yang memiliki pengaruh besar. Kekuatan yang membuat media dan pihak berwenang tidak berdaya untuk menghadapinya. Kekuatan ini juga mampu menggerakkan satelit mata-mata untuk mengawasi wilayah atau bahkan individu tertentu. Martin sebenarnya khawatir bahwa dia tidak akan menang melawan mereka dan bahwa urusan ini juga akan membahayakan keselamatannya. Namun janjinya kepada ayahnya, hubungan baiknya dengan pamannya serta rasa ibanya terhadap bibi dan anak-anaknya menguatkan tekadnya untuk melawannya.
****
“Bagaimana?”, tanya Shannon dengan penuh antusias ketika Martin baru saja turun dari mobilnya.
“Sepertinya petunjuknya benar dan dia akan mengantarku ke sana.”
“Apakah Peter ada disana?”
“Aku tidak tahu bi. Dia sangat pelit bicara. Sulit sekali menggali informasi darinya.”
“Moga Peter disana. Moga dia disana. Kapan engkau akan kesana?”
“Nanti sore, tapi aku butuh bantuan Buck bi…”
“Bantuan apa? Tidak bisa aku saja?”
“Nanti aku ceritakan ketika Buck sudah kembali dari menjemput anak-anak. Aku ingin menyusun rencana terlebih dahulu..”
“Rencana apa?”
“Rencana untuk meloloskan diri.”
“Meloloskan diri???”
****
“Bagaimana Buck? Kamu siap?”
“Siap!”
“Teman-temanmu juga?”
“Tentu! Mereka telah menunggumu.”
“Ayo bergerak!”
****
Dengan mengucap doa dan memohon perlindungan dari Yang Maha Esa, Martin melangkah mendekati mobil Chrysler yang diparkir tidak jauh dari rumah mereka. Martin kemudian mengetuk kaca penumpang depan mobil itu yang seluruhnya tertutup kaca gelap pekat.
Kaca mobil bagian yang diketuk Martin itupun diturunkan. Didalamnya terdapat sepasang pria dan wanita yang keduanya mengenakan kaca mata hitam.
“Ya ada apa?”, tanya si wanita yang berada di sisi penumpang. Nampak jelas dia tidak senang dengan keberanian Martin mendekati mereka.
“Ini masih negara bebas bukan?”, tanya Martin.
“Apa???”
“Ini masih negara bebas kan? Sebuah negara dimana warganya harusnya bisa bebas dari ketakutan dan kekhawatiran.”
Kedua orang di dalam mobil itu segera menyadari bahwa Martin menyindir mereka.
“Hey anak muda! Pergi dari sini. Jangan ganggu tugas kami. Kami sedang menunggu seseorang.”, pria yang berada di bagian kemudi menghardik Martin dengan kasar.
“Apa ada tulisan ‘bodoh’ di keningku? Aku tau kalian memata-matai kami. Kalianlah yang seharusnya jangan mengganggu kami.”
“Cukup omong kosong ini!”, sambil berkata begitu pria tersebut menekan sebuah tombol untuk menaikkan kembali kaca mobil tersebut.
“Hey tunggu! Aku punya informasi yang kalian butuhkan…”, seru Martin kemudian.
Pria tersebut segera menghentikan tindakannya menutup kaca mobil. Keduanya memperhatikan ketika Martin mengambil sesuatu dalam tas. Sambil membelakangi mereka, Martin mempersiapkan sesuatu. Ketika nampaknya telah siap, Martin berbalik dan langsung memotret mereka. Ternyata yang Martin persiapkan adalah sebuah kamera.
“Aku akan muat foto kalian berdua di koran lokal. Aku akan katakan bahwa kalian adalah sepasang penculik anak.”
Pria yang berada di bagian kemudi nampak marah. Dia segera turun dari mobil dan mendekati Martin.
“Berikan kamera itu!”, bentaknya dengan keras.
“Tidak!”, Martin balik membentaknya.
“Saya bilang, berikan kamera itu”, sambil berkata demikian pria tersebut mengeluarkan sebuah pistol dan menodongkannya ke arah Martin.
“Hans… kendalikan dirimu.”, wanita yang berada di bagian penumpang ikut turun dan mengingatkan rekannya.
“Ya Hans… kendalikan dirimu. Engkau akan semakin terkenal di kota ini dengan videomu yang telah menodongku.”
“Video??? Video apa?”, tanya pria yang bernama Hans itu kebingungan.
Martin menunjuk ke beberapa arah. Di tiap arah yang ditunjuk Martin, terdapat beberapa kamera yang tampaknya merekam mereka.
“Ah…Kamu hanya menggertak!”, kata Hans. Namun dia telah menurunkan todongan pistolnya ke arah Martin.
Sebuah mobil kemudian mendekati mereka. Mobil yang dikemudikan teman Buck itu kemudian berhenti di dekat Martin.
“Terserah apa yang engkau percayai Hans tapi aku tahu setiap pasal yang bisa menuntutmu atas apa yang baru saja kamu lakukan.”, kata Martin sambil membuka pintu mobil yang mendekat tersebut.
Martin kemudian naik ke mobil itu dan sebelum menutup jendelanya, Martin berkata “Ayahku mengajari banyak tentang hukum. Atasanmu pasti punya informasi tentang aku dan ayahku. Jadi kamu tahu bahwa kamu tidak ingin berurusan dengan firma hukum milik ayahku. Sekarang permisi dulu, saya ada janji dengan seseorang.”
Mobil yang ditumpangi Martin pun pergi.
“Anak muda sok tahu! Ayo…kita ikuti dia.”, Hans yang masih kesal rupanya belum puas berurusan dengan Martin.
“Sudahlah! Kita disini saja mengawasi rumah itu.”, rekannya yang wanita berusaha menenangkannya.
“Tidak akan ada apa-apa dirumah itu Audrey! Sudah 6 bulan kita mengawasinya dan tidak ada yang aneh! Saya yakin anak muda itu bisa membawa kita ke sebuah petunjuk!”
Audrey mengangkat bahu, “Ok…ok…tenanglah…baiklah, kita ikuti saja anak muda itu.”
Mereka kemudian mengikuti mobil yang ditumpangi Martin. Namun tidak lama kemudian mobil yang dibawa Hans mogok. Hans kebingungan sambil melihat panel kendalinya. Dia melihat lampu petunjuk bahan bakar yang telah menunjukkan angka nol. “Aarrggghh!!! Bagaimana mungkin??? Bensinnya masih sangat cukup tadi?”. Dia memukul kemudinya dengan kesal.
Yang tidak diketahui Hans adalah ketika dia turun untuk mengejar Martin tadi, Buck menyusup kebawah mobil memotong selang bensin mobil tersebut sehingga bocor dan membuat bensin mobil itu habis dengan sangat cepat.
*******
Untuk berjaga-jaga kemungkinan mereka “diintip” dari langit, mobil yang ditumpangi Martin masuk ke sebuah gudang. Tidak lama kemudian dari dalam gudang tersebut keluar 3 mobil yang berbeda-beda arahnya. Ketiga mobil tersebut dikemudikan oleh teman-teman Buck dan ditujukan untuk membingungkan pengintaian. Namun Martin tidak ada di dalam salah satu mobil tersebut.
Dia turun lewat ruang bawah tanah yang umum terdapat pada banyak rumah dan keluar lewat belakang rumah itu yang tertutup pepohonan yang rimbun. Dia berjalan menyusuri hutan lalu muncul lewat jalan setapak tempat dimana sebuah mobil milik salah seorang teman Buck menunggu. Dengan mobil inilah Martin menjemput Nakai dibawah bukit di belakang pepohonan di seberang toko swalayan sebagaimana perjanjian mereka sebelumnya.
*******
“Jadi apakah pamanku masih hidup?”
“Nakai tidak akan bicara. Charanimo sang kepala suku yang akan bercerita.”
Perjalanan selama hampir 1 jam itu lebih banyak diisi dengan kesunyian. Martin harus bersabar untuk mendapatkan jawaban dari segala pertanyaannya. Dia sebenarnya memiliki kekhawatiran tentang nasib pamannya namun dia segera menepisnya. Semoga saja Pajarito adalah tempat dimana pamanku bersembunyi, demikian pikirnya. Namun ternyata Nakai tidak menuntun Martin ke Pajarito melainkan ke arah pusat penampungan Indian Navajo di Quzenito, 3 kilometer sebelum Pajarito.
*******
Setiba di Quzenito, mereka berjalan ke arah rumah kepala suku. Nakai dan terutama Martin mendapat tatapan tajam dari para penghuni reservasi Navajo tersebut. Beberapa ada yang bertanya dalam bahasa Navajo kepada Nakai.
“Nakai, kenapa kamu pulang? Siapa dia?”
“Dia seorang Navajo. Dia adalah keponakan sang pembuka tabir.”
“Apa??? Benarkah? Apakah dia akan membawa kesulitan juga seperti pamannya?”
“Biar Charanimo yang memutuskan.”, jawab Nakai sambil terus berjalan. Martin ikut berjalan dibelakangnya.
“Charanimo masih sakit. Dia tidak akan bisa memutuskan apa-apa.”
*******
Akhirnya setelah menunggu sebentar di ruang tamu, Martin dipersilahkan masuk menemui Charanimo, sang kepala suku Quzenito, yang sedang terbaring sakit di pembaringannya. Sebelumnya Martin membuka topi baseballnya dan sedikit membungkukkan badannya ketika bertatap mata dengan Charanimo untuk pertama kalinya.
“Kamu Martin keponakan Peter?”
“Ya pak kepala suku.”, jawab Martin sambil sekali lagi sedikit membungkukkan badannya.
Sebagai seorang keturunan Navajo, Martin mengerti dengan baik bagaimana bersikap dan bertutur kepada seorang kepala suku.
“Duduklah…”. Martin pun duduk di sebuah bangku di dekat kepala Charanimo.
Setelah duduk, Martin membuka percakapan. “Saya minta maaf mengganggumu dalam keadaan seperti ini. Tapi ini sangat penting bagi keluarga kami.”
Charanimo mengangguk pelan.
Martin pun meneruskan percakapan dan bertanya. “Anda tentu sudah mengerti tujuanku kemari. Dimanakah pamanku Peter pak kepala suku?”.
Sejenak Charanimo menghela nafas panjang.
“Aku akan menjawab pertanyaanmu nanti. Bersabarlah sejenak. Sebelumnya aku ingin menceritakan terlebih dahulu sebuah cerita. Sebuah kisah tentang raja yang sangat jahat yang memiliki ribuan mata yang membuat semua penghuni bumi, bahkan bumi itu sendiri, menangis dalam penderitaan dan kesedihan yang luar biasa. Maukah kamu mendengarkan?”
Martin mengangguk. Dia tahu kisah yang akan diceritakan oleh Charanimo ini pasti berhubungan dengan nasib pamannya. Dia mengerti bahwa sudah menjadi tradisi dalam suku Indian, termasuk pada Indian Navajo, untuk menyamarkan sebuah peristiwa penting dalam bentuk kisah dongeng.
*******
Seperti apakah dongeng kakek kepala suku Charanimo itu? Dan sebenarnya dimanakah Peter, paman Martin, berada? Masih hidupkah? Atau jangan-jangan ……
Ya sudah, sebagaimana Martin yang bersabar mencari pamannya, harap bersabar juga ya untuk menunggu sambungannya..
*******
Ingat! Ini cuma dongeng dan sepertinya “tidak ada” kaitannya dengan keadaan nyata.
By Patsus Namraenu biro Jabodetabek
Gambar Ilustrasi By Google dan Citox Bae-Jeh
http://patriotgaruda.com/2015/12/11/lirik-kuno-navajo-4-dongeng-kakek-tua/
Semua cerita ini diambil dari www.patriotgaruda.com
Posting Komentar untuk "Lirik kuno Navajo (4) : Dongeng kakek tua"
Mohon untuk tidak meninggalkan live link